Dari judulnya, kita tidak akan menyangka kalau buku ini nantinya akan memberikan kesan dark dan menitikkan bekas perasaan yang sangat tidak nyaman bagi pembacanya. Karya masterpiece dari seorang sastrawan Inggris yang bernama George Orwell ini pada masanya pernah menjadi buku yang wajib dibaca di banyak sekolah dan universitas di UK dan USA. 

Dengan tebal hanya 395 halaman, saya pikir ini akan menjadi bacaan yang sangat padat apabila disandingkan dengan alur ceritanya yang menegangkan. Buku yang berlatar tahun 1984 ini mengisahkan tentang dystopia kehidupan bermasyarakat di suatu negara. Jika kita hidup di dunia dengan penuh kebebasan saat ini, maka buku ini adalah “upside down” dari dunia tersebut.

Menceritakan tentang seorang petugas eksternal partai politik yang bernama Winston, yang hidup di suatu negara bernama Oceania. Selama hidupnya, kita diperlihatkan oleh Orwell bagaimana Winston ini merupakan warga negara yang taat, meskipun jauh di dalam pikirannya terdapat penentangan-penentangan terhadap segala kekangan yang dilakukan oleh negara. 

Hal yang sangat wajar dipikirkan oleh manusia yang hidup dalam bayang-bayang polisi pikiran, patroli helikopter tiap hari, teleskrin (semacam gabungan cctv dan televisi yang tidak boleh mati) dan mikrofon (bisa merekam dan mengeluarkan suara) dalam kehidupan kesehariannya. Hidupnya terpantau dan aktivitas hariannya di atur oleh negara, kapan mereka makan, kapan mereka olahraga, bekerja, buku apa yang mereka boleh baca, hingga kata apa yang boleh mereka keluarkan dalam berkata dan menulis. Negara yang dipimpin oleh “Big Brother” ini benar-benar menciptakan kebiasaan bagi warganya.

Dalam buku ini kita juga akan diperlihatkan bagaimana negara ‘merawat’ warganya. Dengan sajian propaganda berbentuk film yang wajib ditonton warga setiap 3 hari sekali yang menampilkan kisah heroik para pahlawan perang yang taat terhadap negara, sajian berita melalui teleskrin di setiap rumah warga tentang prestasi-prestasi pemerintah yang tentu manipulatif, sajian berita yang berisikan warga negara yang dianggap berkhianat dan dipaksa untuk mengaku kepada publik akan kesalahan yang sebenarnya tidak mereka lakukan dan adanya kewajiban bagi warga negara (tak terkecuali anak-anak) untuk menonton proses hukuman bagi para warga yang dianggap berkhianat., mulai dari siksaan perlahan seperti disetrum dan diumpankan kepada tikus liar, hingga hukum pancung dan penggal.

Terakhir, ada satu kalimat yang selalu diucapkan oleh negara melalui teleskrin dan mikrofon yang tersambung ke seluruh sudut rumah dan jalanan di negara tersebut, yaitu:

“Perang adalah perdamaian, kebebasan adalah perbudakan, kebodohan adalah kekuatan”.

Ingin tahu apa maksudnya? Silakan baca bukunya. Kalian akan lebih menghargai kebebasan tepat saat dan setelah membaca buku ini.

Racha Julian Chairurrizal

(Ketua Umum PW IPM DIY)